Ilmu
dan Filsafat
Pengetahuan dimulai
dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat
dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang
telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati
bahwa tidak semuanya akan pernah ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak
terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam
keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dcari
telah kita jangkau.
Ilmu merupakan pengetahuan
yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan
perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada
diri kita sendiri: apakah sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu? Apakah
ciri-cirinya yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan
lainnya yang bukan ilmu? Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu meruapakan
pengetahuan yang benar? Kriteria apa yang kita pakai dalam menentukan kebenaran
secara ilmiah?
Apakah
Filsafat?
Karakteristik berpikir
filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi
mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat
hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan
ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu
membawa kebahagiaan kepada dirinya sendiri.
Seorang yang berfikir
filsafati selain tengadah ke bintng-bintang, juga membongkar tempat berpijak
secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafati yang kedua yakni
sifat mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar.
Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan
kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar
sendiri itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar.
Secara terus terang
tidak mungkin kita menangguk pengetahuan secara keseluruhan dan bahkan kita
tidak yakin kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam
hal ini kita hanya berspekulasi dan inilah yang merupakan ciri filsafat yang
ketiga yakni sifat spekulatif. Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang
sekarang ada dimulai dengan spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita
dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari
penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut
benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran.
Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin
berbicara tentang moral. Demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah
atau jelek tidak mungkin kita berbicara tentang kesenian.
Cabang-cabang
Filsafat
Pokok permasalahan yang
dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang
disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk
(etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika).
Ketiga cabang utama filsafat ini kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori
tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta
kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan
kedua, politik: yakni kajian mengenai organisasi social/pemerintahan yang ideal.
Kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat
yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik di antaraya filsafat ilmu.
Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup :
1.
Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
2.
Etika (Filsafat Moral)
3.
Estetika (Filsafat Seni)
4.
Metafisika
5.
Politik (Filsafat Pemerintahan)
6.
Filsafat Agama
7.
Filsafat Ilmu
8.
Filsafat Pendidikan
9.
Filsafat Hukum
10.
Filsafat Sejarah
11.
Filsafat Matematika
Filsafat
Ilmu
Filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji
hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Filsafat ilmu merupakan telaahan secara
filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat imu seperti :
Obyek apa yang ditelaah
ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara
objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berikir, merasa dan mengindera)
yang membuahkan pengetahuan?
Bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang
benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana pa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu?
Untuk apa pengetahuan
yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik procedural
yang merupakan operasionalisasi meetode ilmiah dengan norma-norma
moral/professional?
Pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan kelompok pertanyaan yang pertama disebut landasan
ontologis; kelompok yang kedua adalah epistemologis; dan kelompok ketiga adalah
aksiologis. Semua pengetahuan apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja
pada dasarnya mempunyai ketiga landasan ini, yang berbeda adalah materi
perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan dari ketiga aspek ini
dikembangkan dan dilaksanakan.
Jadi untuk membedakan jenis
pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya maka pertanyaan yang
dapat diajukan adalah: apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontology)?
Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemology)? Serta untuk
apa pengetahuan termaksud dipergunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban
dari ketiga pertanyaan maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis
pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia.
Komentar
Posting Komentar